Rabu, 11 September 2013

Pheter C Blsut ( Pheter Cannon Blsut ) / Old Master Artist, title : Flower, Oil on Hard Board, Size 121 cm x 59 cm, Price Rp. 65.000.000,- ( enam puluh lima juta rupiah ).

Dalam setiap karya karya nya Pheter C Blsut selalu mengutamakan keindahan sehingga dia selalu membuat lukisan yang indah yang akan di nikmati sepanjang masa. Sudah tentu dengan teknik atau gaya yang sangat baik sekali dan punya kelas tersendiri maka hasil karya Pheter C Blsut di kagumi oleh banyak penikmat seni rupa sehingga  tak heran karya karya nya di koleksi oleh para kolektor dalam dan luar negeri serta di koleksi oleh tokoh tokoh masyarakat dalam dan luar negeri.
Lukisan ini adalah lukisan bunga warna warni yang indah di pandang mata.
Pheter C Blsut mempunyai murid baik itu murid yang berasal dari negara eropa maupun murid yang berasal dari negeri China, Korea , Jepang juga dia punya murid yang berasal dari Indonesia.  murid murid Pheter C Blsut adalah :  Jacky Idrus, M Thoha, Lim Kwe Siang, Ricky van Stick,Brian Z MC Brown dll.



Artist / Painter : JP Laa Manroe, title : "Frank Zappa, Barry Gibb ( Bee Gees ) & Me", size : 60 cm x 50 cm, Price Rp. 15.000.000,-( Lima belas juta rupiah ).

Artist/Painter: JP Laa Manroe, title:" Frank Zappa, Barry Gibb( BEE GEES)  & Me" size : 50 cm x 60 cm, media: Oil On Canvas, style : Kontemporer Kontemplatif  Price Rp. 15.000.000,- ( Lima belas juta rupiah ).

Pelukis JP Laa Manroe mempunyai teknik lukis luar biasa bagus sekali dan sangat matang memainkan kombinasi kombinasi dlm berbagai teknik lukisan yang di padukan menjadi suatu lukisan yg indah serta menyiratkan arti kehidupan tertentu.

Lukisannya kali ini menggambarkan Musisi dunia Frank Zappa, Barry Gibb & seseorang.
Seseorang yg di samping Frank Zappa dan Barry Gibb menggambarkan bahwa Industri musik tetap di kuasai oleh negara Amerika dan kalau mau tembus Dunia & Go Internasional sesungguhnya, ya harus melewati jalan terjal dan berliku serta harus melewati Negara Amerika, dan itu adalah kenyataan yg terjadi sesungguhnya.
Seperti lukisan karya karyanya bahwa dalam setiap Lukisannya, terdapat ruang Philosophy yang mendalam dan JP Laa Manroe sangat ahli memanfaatkan ruang dan dimensi, diagonal serta sangat cemerlang sekali dalam memainkan kombinasi warna warna .
Karya karya JP Laa Manroe banyak di koleksi oleh berbagai kalangan dalam dan luar negeri seperti Pejabat/ Tokoh2, kolektor Lukisan, Mahasiswa, pengamat seni,  akademisi dll.

JP Laa Manroe dapat melukis melukis dengan berbagai teknik spt Kubisme, realisme/naturalisme, impresionistme, surealisme dll, namun dia lebih fokus ke arah  Kontemporer Kontemplatif dengan explorer yang tinggi dan akurat.
 
JP Laa Manroe mempunyai teknik, ciri dan charakter lukisan yang tidak di miliki pelukis lain.

JP Laa Manroe pernah mendapat penghargaan sebagai Pelukis Terbaik ( Best Painter ) dari IEBI Tilburg-Netherlands tahun 2001 dan juga pernah mendapat Penghargaan Pelukis Terbaik dari DPN AWDI ( Dewan Pertimbangan Nasional Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia ) thn 2003.

contact : lelangnego@gmail.com

 

Painter Hardy ( Old Master ) , judul : Pemandangan, ukuran 140 cm x 90 cm, harga, Rp. 15.000.000,-

Hardy, judul : Pemandangan, ukuran 140 cm x 90 cm, harga, Rp. 15.000.000,-


Hardy, kali ini melukis pemandangan yang sangat bagus sekali, lukisannya membuat kita terasa di bawa di alam desa itu sendiri.

Hardy adalah salah satu pelukis Old Master  Indonesia yang masih hidup dengan segudang pengalaman dan  pameran lukisan di dalam dan luar negeri dengan memperoleh berbagai penghargaan di dalam dunia seni rupa.
Karya karya nya di koleksi oleh berbagai pejabat/tokoh dan kolektor kolektor lukisan dalam dan luar negeri.

contact : lelangnego@gmail.com

Pelukis : W Sukma, Judul Rajawali di atas Laut, size 140 x 90 cm, oil on canvas Rp. 5.000.000,-

Pelukis : W Sukma, Judul Rajawali di atas Laut, size 140 x 90 cm, oil on canvas Rp. 5.000.000,-

W Sukma pelukis yang sudah malang melintang di dunia seni rupa Indonesia, dia sdh pernah ikut berbagai lukisan di dalam negeri. Goresannya sangat bagus dan kuat dengan teknik lukis yang matang  serta terukur.

contact: lelangnego@gmail.com

Otto Djaya ( Old Master ), judul : Wanita, size 70 x 60 cm, harga Rp. 6.000.000,-

Otto Djaya ( Old Master ), judul : Wanita, size 70 x 60 cm, harga Rp. 6.000.000,-

OTTO DJAYA OLD MASTER, PELUKIS YANG KARYA KARYANYA DI KOLEKSI HAMPIR SEMUA ORANG YANG MENGAKU DIRINYA KOLEKTOR LUKISAN.
Pelukis
Otto Djaya
Lahir Rangkasbitung, Banten, 6 Oktober 1916. Pada saat pendudukan Jepang di Indonesia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) dengan pangkat Chudancho. Ketika mas perang telah selesai, Otto Djaya lebih memilih menekuni menekuni dunia seni rupa sebagai pilihan dan meninggalkan militer dengan pangkat terakhir mayor.
Bergabung dengan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), kumpulan para pelukis yang berdiri tahun 1937, kelompok ini nyaring berbunyi lewat ketokohan S. Sudjojono yang menjabat sekretaris, yang dengan lantang menyodorkan gagasan dan pikirannya lewat tulisan-tulisannya yang tajam, sinis dan keras, tetapi Otto Djaya, berperan memberi kontribusi pada kumpulan ini. Dikirim oleh PERSAGI belajar ke Rijks Academie van Beeldende Kunsten serta ikut kuliah di Gemeentelijk Universiteit di Amsterdam selama tiga setengah tahun untuk penjajakan kemungkinan berpameran dan mencari peluang ekonomi. Ia juga mendapat kesempatan berkunjung ke Belgia, Perancis, Italia dan Swiss.

 
Adik dari pelukis Agus Djaya ini pernah menjabat sebagai Pimpinan pada Bagian Seni pada suatu Pusat Kebudayaan di Jakarta. Pernah mengikuti pameran Exposition le Grand Prix de Peinture en Monaco di Monte Carlo dan Pameran Biennialle di Sao Paolo, Brazil. Selain itu, ia juga menyelenggarakan pameran tunggalnya di Jakarta dan sering ambil bagian dalam pameran bersama di Jakarta dan Melbourne, Australia.
Tema-tema lain yang digarap banyak berisi sindiran tentang kemunafikan lingkungan sosial. Tema-tema demikian bisa dilihat pada karyanya tentang suasana resepsi, suasana pasar kain batik, atau juga pada adegan-adegan praktek perdukunan. Sebagai tekanan untuk menampilkan humor dan satire tersebut, pelukis ini biasanya menggunakan tokoh-tokoh Punokawan dari dunia pewayangan dan legenda-legenda tradisional. Walaupun Otto Djaja mengungkapkan tentang sisi gelap hubungan manusia, namun karena tema itu diolah dengan humor dan warna-warna yang meriah, maka lukisannya selalu menghadirkan suasana yang hangat. Warna jingga, merah, hijau, kining mendominasi suasana keseluruhan karyanya
Pelukis yang dalam setiap karyanya muncul dalam komposisi dinamis, bergerak, meriah ini wafat pada 23 Juni 2002, di rumahnya di Depok karena sakit stroke, ddimakamkan di pemakaman umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Meninggalkan empat putra, delapan cucu, dan dua cicit, serta puluhan lukisan yang tersimpan di studionya di Palakali 45, Tanah Baru, Beji, Depok, Jawa Barat.
 ( di sadur dari tamanIsmailmarzuki.com )
Contact :  lelangnego@gmail.com

D Sonjaya ( Dudum Sonjaya ) Old Master jawa Barat, 70 x 50 cm, judul tarung ayam, cat minyak di atas canvas, harga Rp. 8.000.000,-

D Sonjaya ( Dudum Sonjaya ) Old Master jawa Barat, 70 x 50 cm, judul tarung ayam, cat minyak di atas canvas, harga Rp. 8.000.000,- (Delapan Juta Rupiah ).

( Alm) D Sanjaya ( Dudum Sanjaya ) pelukis Old Master yg terkenal asal jawa barat dimana  karya karyanya di koleksi tokoh tokoh / pejabat 2 serta kolektor dalam dan luar negeri.
Dudum Sanjaya pelukis yg lama tinggal di Bali dan  pernah pameran Lukisan di Denmark.
Dalam tanda tangan nya, dia menulis d sanjaya atau d sandjaya ( bisa huruf besar atau huruf kecil ).
Lukisan menggambarkan pertarungan tiga ayam, namun ayam yg satunya sdh terjatuh dan terkapar.
D Sondjaya memang beberapa kali melukis ttg ayam tarung
Lukisan ini karya lama ( tahun 70 an ) yg di buat oleh nya sehingga kondisinya agak kurang mulus, perlu sedikit perbaikan.

Tentang D Sonjaya ( Almarhum )

Di sadur dari " Radar Seni "

Dudum Sonjaya, Pelukis Perekam Sejarah Kelahiran Republik Indonesia

Oleh: Trudonahu Abdurrahman Raffles


Lukisan Dudum Sonjaya (koleksi pribadi)
Sekitar dekade 90-an, jika menuju Cipanas-Puncak dari arah kota Cianjur, saya selalu memandang satu rumah yang amat berbeda dengan bangunan lain. Sekilas seperti pura atau bangunan di daerah Bali. Kabarnya itu milik seorang pelukis. Dudum Sonjaya namanya. Meski sejak kecil hingga remaja tinggal di Cianjur namun hanya demikian informasi yang saya ketahui. Tidak lebih.
Baru sepuluh tahun terakhir, pengetahuan tentang pemilik rumah tersebut bertambah. Begini ceritanya:
Sekitar tahun 2000-2001, seorang kawan dari Jogja berkunjung ke Bandung, domisili saya saat itu. Rupanya dia sedang gagah-gagahnya menetapi jalan hidup sebagai makelar lukisan –kini ia menjadi pengacara dan direktur cabang di satu lembaga pendidikan- seusai lulus sebagai sarjana hukum.
“Tolong kau carikan pembeli untuk lukisan-lukisan Djoko Pekik. Lukisannya asli dan dapat dikonfirmasi langsung ke pembuatnya karena beliau masih hidup,” ujarnya saat itu.
Sejujurnya agak sulit rasanya membantu cita-cita sahabat ini. Pengetahuan tentang pelukis dan karya-karya mereka saja masih nol besar. Ditambah pula harus membuat daftar orang kaya yang berhasrat mengkoleksi lukisan. Tapi demi membuat tentram sang tamu, tak ada salahnya permintaan tersebut dikabulkan. Yang penting kami dapat berkumpul lagi setelah bertahun-tahun tak bertemu.


Lukisan Dudum Sonjaya (koleksi pribadi)
Esoknya kawan itu saya ajak ke Cianjur, ke rumah orangtua. Niatnya mengunjungi beberapa orang yang potensial jadi pembeli. Di Bandung, relasi saya hanya orang-orang seputar proyek rumah, pengerjaan bangunan anti bocor, kolam renang dan sebagainya, hal yang sedang ditekuni saat itu. Bila saja ia memerlukan referensi terkait pengerjaan proyek bangunan, khususnya kimia konstruksi, tentu tak menyulitkan. Namun lukisan?
Setelah berkunjung ke satu-dua relasi di Cianjur, timbul pula keinginan untuk mengajak kawan itu berkunjung ke Pak Dudum Sonjaya. Hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Boleh jadi kedatangannya adalah jalan untuk bersilaturahim dan lebih mengenal Pak Dudum, pikir saya.
Syukurlah saat bertamu ke sana orang yang dituju sedang ada di rumah. Kami bertiga pun berbincang panjang tentang banyak hal hingga nyaris tengah malam. Dari pertemuan itu terlintas kalau Pak Dudum adalah pelukis yang punya kelas tersendiri. Setidaknya begitulah pandangan subyektif saya. Kesimpulan tersebut bukanlah didapat dari mengamati sebagian karya yang dipajang di dinding rumahnya. Sebab seperti telah disebutkan, saya benar-benar tak paham soal lukisan. Dari obrolanlah hal itu sedikit-banyak terungkap.
Saat itu kami seperti berbicara dengan seorang ayah meski baru kali pertama bertemu. Dan sekaligus seakan berbicara dengan seorang lelaki yang sudah banyak mencicipi asam-garam kehidupan.
***
Masih teringat saat membuka-buka buku tamu yang ada di meja. Ada kalimat di halaman awal yang masih terpatri hingga kini: “Semakin aku mengenal manusia, semakin sayang aku pada kucingku.” Waktu itu saya tersenyum membacanya. Tentu seraya berupaya menafsirkannya dengan beragam tafsiran.
Awalnya terpikir jika pak Dudum hanyalah seorang pelukis lokal biasa di Cianjur –maksudnya tak terlalu menonjol. Rupanya anggapan tersebut keliru. Di malam itu terkuak bahwa sepak terjang pelukis ini bukan saja sudah meng-Indonesia, bahkan terkenal hingga mancanegara. Ketika tinggal di Bali beliau juga bercerita sempat dekat dengan pelukis hebat lainnya, dengan Antonio Blanco misalnya.
Ketika ditanyakan apakah beliau asli Cianjur, Pak Dudum menjawab jika dirinya kelahiran Banten, dari Lebak tepatnya. Sayang saat itu saya tak sempat bertanya sejak kapan beliau tinggal di Cianjur.
Meski obrolan kami cukup lama namun beliau tak terlalu banyak membicarakan dirinya kecuali jika ditanya. Pembicaraan berlangsung santai serta betema ringan saja. Tampaknya beliau pun baru saja menyelesaikan sebuah lukisan berukuran besar. Seingat saya itu lukisan seorang raja berlatar sebatang pohon dan seekor harimau.
“Ini lukisan pesanan seorang jenderal,” katanya menjelaskan ketika saya bertanya perihal lukisan tersebut.
Menurut pandangan saya lukisan itu sendiri sangat bagus dan nampak hidup. Namun entah apa alasannya beliau menyebutkan jika belum selesai sepenuhnya. “Masih ada yang harus dikerjakan,” katanya. Saya terdiam tapi sungkan untuk bertanya mengenai apa persisnya.
Begitulah kisah kunjungan kami itu. Mendekati tengah malam akhirnya kami pun pamit pulang sambil membawa kesan bahwa beliau memang seorang seniman kharismatik dan sederhana.
Hingga beberapa hari lalu tiba-tiba saya teringat pada pelukis ini. Kalau saja beliau masih ada di Cianjur, kemungkinan besar saya akan mengunjunginya kembali sebab saya sudah tiga tahun ini berada di Cianjur lagi. Sayangnya Pak Dudum sudah tidak di kota ini. Rumahnya yang dahulu juga tampaknya telah lama berganti rupa menjadi semacam toko aksesori mobil.
Maka seperti yang dilakukan sekian orang, saya mulai mencari-cari informasi lewat internet. Memang ada akun twitter, facebook, serta halaman facebook atas nama beliau. Namun terlihat tidak terlalu aktif. Karena belum berteman di facebook, saya hanya dapat membuka foto-foto koleksi lukisannya tanpa melakukan komunikasi.

Saksi Mata Peristiwa Rengas Dengklok
Ternyata begitu banyak hal yang belum saya ketahui selama ini. Misalkan bahwa beliau menjadi saksi sejarah pertemuan para tokoh Indonesia di Rengasdengklok untuk kemerdekaan RI sebelum proklamasi di Jakarta.



Dudum Sonjaya
Pak Dudum yang masih berumur 10 tahun dan duduk di kelas tiga SD untuk ukuran saat ini. Mengabadikan peristiwa di Rengasdengklok itu dengan sketsa karena waktu itu tentara Jepang melarang dokumentasi dengan foto.
Saya terus membuka-buka informasi di internet itu dengan bermacam perasaan. Seandainya saja sejak dulu mengetahui perjalanan hidup beliau yang sangat berharga itu, tentu saya akan meminta beliau menceritakannya langsung saat pertemuan dahulu.
Tentu akan mengasyikan mendengar cerita-cerita mengenai persiapan kemerdekaan negara ini langsung dari penyaksinya. Selain banyak lagi kisah lain yang dapat dijadikan pelajaran bagi kehidupan saya.
Kemudian seraya memandangi dua lukisan (sebetulnya tiga namun yang satu digondol orang dengan alasan hendak diberi figura lebih bagus tapi tak pernah kembali) yang diberikan Pak Dudum kepada orangtua saya sekitar dua puluh tahun lalu sebagai tanda mata, saya berujar dalam hati “Lelaki ini memang seniman hebat.” Sikapnya seperti padi.
Cianjur, 17 Maret 2013
Catatan; Untuk keterangan lebih lengkap mengenai pelukis Tb Dudum Sonjaya dan karya-karyanya dapat ditelusuri di internet, misalnya di http://http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/08/15/120547/Jepang-Terkecoh-karena-Bulan-Ramadan. Dalam tulisan ini saya hanya menampilkan foto dari dua lukisan beliau yang ada di rumah.

Contact  : lelangnego@gmail.com 


Di sadur dari merdeka.com
Pembuat Sketsa saat Detik-detik Proklamasi (2-Habis)
Buka Puasa, Bung Karno Habiskan 30 Tusuk Sate
 0
 0
image
BERBAGAI pertanyaan mengenai mengapa Proklamasi Kemerdekaan dinyatakan untuk kali kedua di Jakarta oleh Bung Karno pada 17 Agustus 1945, sering ditujukan kepada Tubagus Dudum Sonjaya (75), pembuat sketsa detik-detik proklamasi.

Namun hingga kini dia mengaku tidak tahu alasan pemilihan tanggal tersebut, termasuk apakah benar Bung Karno pernah mengatakan tentang hal itu saat di Rengasdengklok.

’’Banyak juga yang tanya saya. Ada memang yang mengatakan kalau angka 17 angka keramat karena pas dengan shalat lima waktu 17 rakaat. Tapi ini berkembang setelah sekian lama kita merdeka. Saya tidak melihat dan mendengar Bung Karno bicara begitu,’’ katanya.

Yang dipahami Dudum kecil adalah, pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dinyatakan Bung Karno melalui upacara militer di halaman depan Kesatrian PETA Rengasdengklok tanggal 16 Agustus, sore harinya datang tokoh-tokoh dari Jakarta yang meminta Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke Jakarta dan menyampaikan pernyataan proklamasi pada tanggal 17 Agustus.

’’Yang saya dengar, tokoh dari Jakarta itu di antaranya Pak Soebardjo (Achmad Soebardjo-Red) yang minta dengan sangat agar Bung Karno ke Jakarta. Biar proklamasi tersiar ke dunia, katanya begitu. Lalu setelah buka puasa barulah rombongan berangkat ke Jakarta. Tapi bagi saya, proklamasi dengan upacara militer dan pengibaran bendera dengan penghormatan yang khidmat dan membanggakan telah terjadi tanggal 16 di Rengasdengklok,’’ jelas pria kelahiran Rangkasbitung (Lebak), Banten, tahun 1935 tersebut.

Ternyata apa yang dikatakan Dudum benar adanya. Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 di depan kediaman Bung Karno Jl Pegangsaan Timur No 56 Jakarta sangat sederhana, karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk menggelar pasukan PETA bersenjata lengkap di tempat itu.

Untuk mengenang peristiwa Proklamasi 16 Agustus di Rengasdengklok, Dudum ’’meningkatkan’’ dokumentasinya dari sketsa menjadi sebuah lukisan yang kini tersimpan di galerinya. 

Alasan pemilihan tanggal 16 dan 17 Agustus untuk menyatakan proklamasi oleh Bung Karno, akhirnya diketahui Dudum setelah dia berusia 20 tahun. Dia dekat lagi dengan Bung Karno, setelah Dudum menjadi dekorator Gedung Konferensi Asia Afrika di Bandung. Saat dewasa, barulah Dudum mengenal Bung Karno sebagai sosok yang kuat dalam hal metafisik.

’’Jadi ringkasnya, Bung Karno itu seakan sudah dapat wahyu bahwa tanggal yang tepat adalah tanggal 16 di Rengasdengklok dan tanggal 17 di Pegangsaan Timur Nomor 56. Jadi meskipun dipaksa pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Bung Karno tetap tidak mau, karena sudah tahu bahwa itu tanggal yang tepat dan tidak sampai mengorbankan nyawa rakyat banyak,’’ ujar pria berkacamata tersebut.

Dudum berani mengatakan demikian, karena melihat sendiri beberapa hal yang diprediksi Bung Karno, tepat. Dia menjelaskan beberapa di antaranya, namun meminta tidak dipublikasikan karena bisa menimbulkan fitnah.

Dia lantas menceritakan ’’sinyal’’ yang diberikan Bung Karno saat akan meninggalkan Rengasdengklok menuju Jakarta. Wajah sang proklamator terlihat tegar ketika berjalan menuju mobil yang akan membawanya. Namun ketika menengok rakyat di Rengasdengklok yang mengantarkannya, wajahnya menjadi sedih.

’’Terlihat Beliau khawatir nasib kami yang telah tulus membantu. Ternyata beberapa bulan kemudian, atau sekitar dua bulan setelah Lebaran, memang terjadi keonaran di Karawang dan sekitarnya. Para oknum jawara merebut kekuasaan dan meneror rakyat. Terjadi kekerasan, pertumpahan darah sesama bangsa,’’ katanya.

Dudum sangat ingat peristiwa berdarah tersebut. Selain melihat langsung kerusuhan, juga karena rumah ayahnya selalu didatangi tokoh-tokoh dari beberapa suku di Rengasdengklok yang melaporkan kekacauan yang terjadi. Warga dari etnis China, serta orang Jawa dan orang Sunda yang kaya dirampok dan diusir. Jika menolak, pasti dihabisi. Wedana dan kepala desa dicopot, lalu diganti orang-orang dari gerombolan bersenjata rampasan dari Jepang, yang memanfaatkan kondisi status quo untuk kepentingan mereka.

’’Saya masih ingat, pimpinan jawara itu Kang Hamzah. Tatanan jadi kacau, karena pemimpin bukan lagi orang pintar dan terhormat, tetapi mereka yang kejam dan melakukan kekerasan. Karawang dan Rengasdengklok yang sebelumnya makmur menjadi hancur. Makanya saya selalu bersyukur proklamasi terjadi di bulan Puasa, jadinya aman  dan suasananya tenteram,’’ turu Dudum.

Sate Kambing

Ada hal menarik yang disaksikan Dudum sewaktu Bung Karno dan keluarganya serta Bung Hatta berada di Rengasdengklok. Dia teringat,  pada saat singgah di rumahnya dan kemudian pindah ke rumah Djiau  Kie Song, Guntur Soekarnoputera yang masih bayi terus-terusan menangis. Ternyata Guntur lapar karena ASI ibunya, Fatmawati atau Bu Fat, kering.

’’Mungkin stres akibat kondisi yang tidak menentu itu, jadi Bu Fat tidak keluar ASI-nya. Saya kasihan sekali lihat Bu Fat. Guntur tidak berhenti juga menangisnya. Tapi saya masih kecil, jadi bingung, lalu ibu saya menyuruh saya minta susu di markas tentara Jepang di Rengasdengklok,’’ katanya.

Perintah ibu Dudum beralasan, karena tahu bahwa anak lelakinya itu adalah kesayangan staf logistik Jepang bernama Yoshizawa. Dudum mengaku bahwa Yoshizawa (yang akhirnya kembali bertemu dengannya saat Dudum mengunjungi Sapporo, Jepang) senang dan sayang dengan anak-anak, termasuk dirinya. Apalagi Dudum punya kemampuan membuat sketsa dengan pensil.

’’Yoshizawa paham bahasa Jepang sederhana anak-anak, jadi nggak perlu ngomong banyak. Saya bilang minta susu bubuk, ada orang sakit, dia bilang ambil aja. Ya saya ambil banyak sekali, dilihat teman-teman Yoshizawa, ya tenang aja. Lalu saya berikan kepada Ibu, Ibu saya berikan ke Bu Fat,’’ kisahnya.

Semakin dewasa, Dudum mendengar kekejaman tentara Jepang terhadap bangsa Indonesia dan bangsa lainnya. Dia bersyukur karena orang-orang Jepang yang ditemui saat anak-anak berperilaku baik. ’’Jadi tidak bisa kita pukul rata, orang A pasti kejam, orang B pasti baik.’’

Setelah membantu ibunya melayani Bu Fat, selanjutnya Dudum mendapat tugas memesankan sate kambing buat Bung Karno untuk berbuka puasa. Sate kambing itu adalah pelengkap sup kambing plus emping masakan Ibu Dudum.
’’Kalau ada tamu agung, ibu saya pasti memasak sup kambing plus emping goreng. Ibu saya diberitahu orang dari Jakarta, Bung Karno doyan sate kambing. Saya disuruh beli di warungnya Pak Aman, saya bilang ini untuk Ir Soekarno. Tahu begitu, dia (Pak Aman) langsung menggratiskan sate yang saya pesan,’’ katanya.

Begitu saat berbuka tiba, Bung Karno dan beberapa orang, termasuk ayah Dudum, berbuka dengan kolak pisang. Bung Karno lantas menghabiskan sup kambingnya terlebih dahulu, lalu mengambil sedikit nasi, setelah itu baru memakan sate. Dudum ingat betul, Bung Karno menghabiskan sekitar 30 tusuk sate.

’’Saya sebagai anak kecil ya kaget, ada orang nggado sate kambing sampai segitu banyaknya dan makan nasinya sedikit sekali. Bung Karno lihat saya lalu ngomong, kenapa Dum, aneh? Saya cuma cengar-cengir tidak berani menimpali, karena bapak saya sudah melototin saya,’’ tuturnya.

Di mata Dudum kecil, Bung Karno adalah sosok yang komplit. Ia bisa sangat berwibawa dalam bersikap, teguh dalam pendirian, mampu menggelorakan semangat, namun bisa juga cair dalam suasana kekeluargaan yang sangat santai. Sementara Bung Hata adalah sosok intelektual formal yang santun.

’’Beliaulah yang menyebabkan saya tergerak belajar Jawa. Ya, biar bisa ngobrol lebih kekeluargaan, karena beliau sukanya pakai Bahasa Jawa. Saat di Rengasdengklok, banyak tokoh Jakarta dan tokoh Jawa setempat yang sowan beliau, yang muncul Bahasa Jawa. Bung Hatta nggak ngerti, jadi senyum-senyum saja, tapi akhirnya tanya sana-sini, penasaran apa yang dibicarakan tamu-tamu,’’ ucapnya seraya tertawa.

Tahu akan potensi Dudum dalam seni, Bung Karno membantunya agar makin berkembang. Dudum mendapat kesempatan belajar ke Jepang  atas bantuan Pramuraharjo (sekretaris pribadi Bung Karno). Di Negeri Sakura tersebut dia menekuni ilmu industri seni kerajinan tangan selama lima tahun.

Pada tahun 60-an, atas bantuan Mas Agung (Chio Wie Thay), Dudum berangkat ke Belanda untuk menggali potensinya dan berkarier selama tujuh tahun. Setelah itu pada awal 80-an dia diminta Raja Arab Saudi untuk membuat lukisan tentang sejarah para Nabi. Setelah berkeliling berbagai negara di dunia, tahun 1985 dia kembali ke Tanah Air dan tetap berkarya hingga kini.

Dudum memilih hidup menyepi di tempat yang memang benar-benar sulit dijangkau, yaitu Desa Mekarwangi. ’’Ini dorongan batin saya, setelah sekian lama melanglang buana. Di sini saya bisa lebih enak berdialog dengan alam, sambil terus melukis. Di sini saya sering berjumpa dengan Bung Karno, dan bagi saya Bung Karno tidak mati,’’ akunya.

Dia tinggal bersama istrinya Entin Hartini dan dua anaknya, Siti Komariah dan Angga Ragiesty. Walaupun sederhana, di dalam rumah Dudum terdapat barang-barang unik pemberian Bung Karno. Salah satunya adalah kursi tamu dengan sandaran kepala berornamen mahkota Kerajaan Belanda.

’’Kursi ini dari Istana Bogor. Bung Karno bilang, Dum, kamu mau kursi ini, ambil saja. Saya ingin ganti dengan yang lambang Garuda, itu lambang kita, kebanggaan kita. Ya saya senang sekali, apalagi kursi jati ini tidak ada sambungannya,’’ kata Dudum sambil menunjukkan detail kursi yang didudukinya, yang ternyata memang tak ada sambungannya alias dari kayu jati utuh. (Hartono Harimurti, Setiady Dwie-59)

Bismar Siregar pelukis senior ( mantan Hakim Agung ), Size 80 x 60 cm, judul pemandangan, Harga Rp.12.500.000,-

Bismar Siregar

( Alm ) Bismar Siregar, Mantan Hakim Agung yg jujur , idealist dan sangat Pancasilais, beliau juga seoarng pelukis yang handal dan karya karyanya menyiratkan unsur unsur philosophy yang mendalam.
Karya karya Bpk Bismar Siregar banyak di koleksi oleh berbagai pejabat/tokoh tokoh, kolektor kolektor dalam dan luar negeri.

contact : lelangnego@gmail.com

Painter : Hanafi atau Harlim ( Master Painter), judul pemandangan, ukuran 80 x 60 cm, Price Rp.12.500.000,-

Pelukis : Hanafi atau Harlim (Master  Painter), judul pemandangan, ukuran 80 x 60 cm, Price Rp.12.500.000,-

 Hanafi nama lainnya Harlim, pelukis yang saat ini terkenal di Indonesia, salah satu   pelukis kategori  Master Indonesia yg masih hidup, dia sdh ikut berbagai pameran lukisan dalam dan luar negeri. Karya Karya nya di koleksi oleh para tokoh/pejabat/Bussisman dan kolektor kolektor lukisan dalam dan luar negeri.
Karya karya Hanafi ( Harlim ) masuk hampir semua balai lelang seni rupa spt Masterpiece, Borobudur, Sidharta dll.
Saat Ini Hanafi ( Harlim ) lebih fokus dan konsentrasi melukis abstrak.

contact: lelangnego@gmail.com

Discussion of four birds about 3 horses, 80 x 60 cm, Rp.20 jt,- JP Laa Manroe

 

  

 Lukisan yg menarik, lucu dan unik yg menggambarkan empat ekor burung sedang berdiskusi ttg 3 kuda, lihatlah empat ekor burung tsb sdg diskusi di pimpin satu burung yg sedang mengepak sayap spt orang yg sedang berdiri.
Tema ini benar benar bagus dan menyiratkan arti kehidupan di dunia Hewan yg jika di analogikan ke dunia Manusia menggambarkan banyaknya kelompok kelompok yg mendiskusikan kelompok lainnya dan mungkin saja di antara kelompok kelompok tsb adalah saling tdk mengenal satu sama lain tetapi mereka mengenal atau memperhatikan setiap tindakan yg di lakukan oleh masing masing kelompok tsb.

contact : lelangnego@gmail.com