D Sonjaya ( Dudum Sonjaya ) Old Master jawa Barat, 70 x 50 cm, judul
tarung ayam, cat minyak di atas canvas, harga Rp. 8.000.000,- (Delapan Juta Rupiah ).
( Alm) D Sanjaya ( Dudum Sanjaya ) pelukis Old Master yg terkenal asal
jawa barat dimana karya karyanya di koleksi tokoh tokoh / pejabat 2
serta kolektor dalam dan luar negeri.
Dudum Sanjaya pelukis yg lama tinggal di Bali dan pernah pameran Lukisan di Denmark.
Dalam tanda tangan nya, dia menulis d sanjaya atau d sandjaya ( bisa huruf besar atau huruf kecil ).
Lukisan menggambarkan pertarungan tiga ayam, namun ayam yg satunya sdh terjatuh dan terkapar.
D Sondjaya memang beberapa kali melukis ttg ayam tarung
Lukisan ini karya lama ( tahun 70 an ) yg di buat oleh nya sehingga kondisinya agak kurang mulus, perlu sedikit perbaikan.
Tentang D Sonjaya ( Almarhum )
Di sadur dari " Radar Seni "
Dudum Sonjaya, Pelukis Perekam Sejarah Kelahiran Republik Indonesia
Published On Monday, March 18, 2013 By
admin. Under:
Opini,
Seni Rupa,
Utama.
Oleh: Trudonahu Abdurrahman Raffles
Lukisan Dudum Sonjaya (koleksi pribadi)
Sekitar dekade 90-an, jika menuju Cipanas-Puncak dari arah kota
Cianjur, saya selalu memandang satu rumah yang amat berbeda dengan
bangunan lain. Sekilas seperti pura atau bangunan di daerah Bali.
Kabarnya itu milik seorang pelukis. Dudum Sonjaya namanya. Meski sejak
kecil hingga remaja tinggal di Cianjur namun hanya demikian informasi
yang saya ketahui. Tidak lebih.
Baru sepuluh tahun terakhir, pengetahuan tentang pemilik rumah tersebut bertambah. Begini ceritanya:
Sekitar tahun 2000-2001, seorang kawan dari Jogja berkunjung ke
Bandung, domisili saya saat itu. Rupanya dia sedang gagah-gagahnya
menetapi jalan hidup sebagai makelar lukisan –kini ia menjadi pengacara
dan direktur cabang di satu lembaga pendidikan- seusai lulus sebagai
sarjana hukum.
“Tolong kau carikan pembeli untuk lukisan-lukisan Djoko Pekik.
Lukisannya asli dan dapat dikonfirmasi langsung ke pembuatnya karena
beliau masih hidup,” ujarnya saat itu.
Sejujurnya agak sulit rasanya membantu cita-cita sahabat ini.
Pengetahuan tentang pelukis dan karya-karya mereka saja masih nol besar.
Ditambah pula harus membuat daftar orang kaya yang berhasrat
mengkoleksi lukisan. Tapi demi membuat tentram sang tamu, tak ada
salahnya permintaan tersebut dikabulkan. Yang penting kami dapat
berkumpul lagi setelah bertahun-tahun tak bertemu.
Lukisan Dudum Sonjaya (koleksi pribadi)
Esoknya kawan itu saya ajak ke Cianjur, ke rumah orangtua. Niatnya
mengunjungi beberapa orang yang potensial jadi pembeli. Di Bandung,
relasi saya hanya orang-orang seputar proyek rumah, pengerjaan bangunan
anti bocor, kolam renang dan sebagainya, hal yang sedang ditekuni saat
itu. Bila saja ia memerlukan referensi terkait pengerjaan proyek
bangunan, khususnya kimia konstruksi, tentu tak menyulitkan. Namun
lukisan?
Setelah berkunjung ke satu-dua relasi di Cianjur, timbul pula
keinginan untuk mengajak kawan itu berkunjung ke Pak Dudum Sonjaya. Hal
yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Boleh jadi kedatangannya adalah
jalan untuk bersilaturahim dan lebih mengenal Pak Dudum, pikir saya.
Syukurlah saat bertamu ke sana orang yang dituju sedang ada di rumah.
Kami bertiga pun berbincang panjang tentang banyak hal hingga nyaris
tengah malam. Dari pertemuan itu terlintas kalau Pak Dudum adalah
pelukis yang punya kelas tersendiri. Setidaknya begitulah pandangan
subyektif saya. Kesimpulan tersebut bukanlah didapat dari mengamati
sebagian karya yang dipajang di dinding rumahnya. Sebab seperti telah
disebutkan, saya benar-benar tak paham soal lukisan. Dari obrolanlah hal
itu sedikit-banyak terungkap.
Saat itu kami seperti berbicara dengan seorang ayah meski baru kali
pertama bertemu. Dan sekaligus seakan berbicara dengan seorang lelaki
yang sudah banyak mencicipi asam-garam kehidupan.
***
Masih teringat saat membuka-buka buku tamu yang ada di meja. Ada kalimat di halaman awal yang masih terpatri hingga kini: “
Semakin aku mengenal manusia, semakin sayang aku pada kucingku.” Waktu itu saya tersenyum membacanya. Tentu seraya berupaya menafsirkannya dengan beragam tafsiran.
Awalnya terpikir jika pak Dudum hanyalah seorang pelukis lokal biasa
di Cianjur –maksudnya tak terlalu menonjol. Rupanya anggapan tersebut
keliru. Di malam itu terkuak bahwa sepak terjang pelukis ini bukan saja
sudah meng-Indonesia, bahkan terkenal hingga mancanegara. Ketika tinggal
di Bali beliau juga bercerita sempat dekat dengan pelukis hebat
lainnya, dengan Antonio Blanco misalnya.
Ketika ditanyakan apakah beliau asli Cianjur, Pak Dudum menjawab jika
dirinya kelahiran Banten, dari Lebak tepatnya. Sayang saat itu saya tak
sempat bertanya sejak kapan beliau tinggal di Cianjur.
Meski obrolan kami cukup lama namun beliau tak terlalu banyak
membicarakan dirinya kecuali jika ditanya. Pembicaraan berlangsung
santai serta betema ringan saja. Tampaknya beliau pun baru saja
menyelesaikan sebuah lukisan berukuran besar. Seingat saya itu lukisan
seorang raja berlatar sebatang pohon dan seekor harimau.
“Ini lukisan pesanan seorang jenderal,” katanya menjelaskan ketika saya bertanya perihal lukisan tersebut.
Menurut pandangan saya lukisan itu sendiri sangat bagus dan nampak
hidup. Namun entah apa alasannya beliau menyebutkan jika belum selesai
sepenuhnya. “Masih ada yang harus dikerjakan,” katanya. Saya terdiam
tapi sungkan untuk bertanya mengenai apa persisnya.
Begitulah kisah kunjungan kami itu. Mendekati tengah malam akhirnya
kami pun pamit pulang sambil membawa kesan bahwa beliau memang seorang
seniman kharismatik dan sederhana.
Hingga beberapa hari lalu tiba-tiba saya teringat pada pelukis ini.
Kalau saja beliau masih ada di Cianjur, kemungkinan besar saya akan
mengunjunginya kembali sebab saya sudah tiga tahun ini berada di Cianjur
lagi. Sayangnya Pak Dudum sudah tidak di kota ini. Rumahnya yang dahulu
juga tampaknya telah lama berganti rupa menjadi semacam toko aksesori
mobil.
Maka seperti yang dilakukan sekian orang, saya mulai mencari-cari
informasi lewat internet. Memang ada akun twitter, facebook, serta
halaman facebook atas nama beliau. Namun terlihat tidak terlalu aktif.
Karena belum berteman di facebook, saya hanya dapat membuka foto-foto
koleksi lukisannya tanpa melakukan komunikasi.
Saksi Mata Peristiwa Rengas Dengklok
Ternyata begitu banyak hal yang belum saya ketahui selama ini.
Misalkan bahwa beliau menjadi saksi sejarah pertemuan para tokoh
Indonesia di Rengasdengklok untuk kemerdekaan RI sebelum proklamasi di
Jakarta.
Dudum Sonjaya
Pak Dudum yang
masih berumur 10 tahun dan duduk di kelas tiga SD untuk ukuran saat ini.
Mengabadikan peristiwa di Rengasdengklok itu dengan sketsa karena waktu
itu tentara Jepang melarang dokumentasi dengan foto.
Saya terus membuka-buka informasi di internet itu dengan bermacam
perasaan. Seandainya saja sejak dulu mengetahui perjalanan hidup beliau
yang sangat berharga itu, tentu saya akan meminta beliau menceritakannya
langsung saat pertemuan dahulu.
Tentu akan mengasyikan mendengar cerita-cerita mengenai persiapan
kemerdekaan negara ini langsung dari penyaksinya. Selain banyak lagi
kisah lain yang dapat dijadikan pelajaran bagi kehidupan saya.
Kemudian seraya memandangi dua lukisan (sebetulnya tiga namun yang
satu digondol orang dengan alasan hendak diberi figura lebih bagus tapi
tak pernah kembali) yang diberikan Pak Dudum kepada orangtua saya
sekitar dua puluh tahun lalu sebagai tanda mata, saya berujar dalam hati
“Lelaki ini memang seniman hebat.” Sikapnya seperti padi.
Cianjur, 17 Maret 2013
Catatan; Untuk keterangan lebih lengkap mengenai pelukis Tb Dudum
Sonjaya dan karya-karyanya dapat ditelusuri di internet, misalnya di
http://http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/08/15/120547/Jepang-Terkecoh-karena-Bulan-Ramadan.
Dalam tulisan ini saya hanya menampilkan foto dari dua lukisan beliau
yang ada di rumah.
Contact : lelangnego@gmail.com
Di sadur dari merdeka.com
Pembuat Sketsa saat Detik-detik Proklamasi (2-Habis)
Buka Puasa, Bung Karno Habiskan 30 Tusuk Sate
BERBAGAI pertanyaan
mengenai mengapa Proklamasi Kemerdekaan dinyatakan untuk kali kedua di
Jakarta oleh Bung Karno pada 17 Agustus 1945, sering ditujukan kepada
Tubagus Dudum Sonjaya (75), pembuat sketsa detik-detik proklamasi.
Namun hingga kini dia mengaku tidak tahu alasan pemilihan tanggal
tersebut, termasuk apakah benar Bung Karno pernah mengatakan tentang hal
itu saat di Rengasdengklok.
’’Banyak juga yang tanya saya.
Ada memang yang mengatakan kalau angka 17 angka keramat karena pas
dengan shalat lima waktu 17 rakaat. Tapi ini berkembang setelah sekian
lama kita merdeka. Saya tidak melihat dan mendengar Bung Karno bicara
begitu,’’ katanya.
Yang dipahami Dudum kecil adalah, pada saat
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dinyatakan Bung Karno melalui upacara
militer di halaman depan Kesatrian PETA Rengasdengklok tanggal 16
Agustus, sore harinya datang tokoh-tokoh dari Jakarta yang meminta Bung
Karno dan Bung Hatta kembali ke Jakarta dan menyampaikan pernyataan
proklamasi pada tanggal 17 Agustus.
’’Yang saya dengar, tokoh
dari Jakarta itu di antaranya Pak Soebardjo (Achmad Soebardjo-Red) yang
minta dengan sangat agar Bung Karno ke Jakarta. Biar proklamasi tersiar
ke dunia, katanya begitu. Lalu setelah buka puasa barulah rombongan
berangkat ke Jakarta. Tapi bagi saya, proklamasi dengan upacara militer
dan pengibaran bendera dengan penghormatan yang khidmat dan membanggakan
telah terjadi tanggal 16 di Rengasdengklok,’’ jelas pria kelahiran
Rangkasbitung (Lebak), Banten, tahun 1935 tersebut.
Ternyata
apa yang dikatakan Dudum benar adanya. Proklamasi tanggal 17 Agustus
1945 di depan kediaman Bung Karno Jl Pegangsaan Timur No 56 Jakarta
sangat sederhana, karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk menggelar
pasukan PETA bersenjata lengkap di tempat itu.
Untuk
mengenang peristiwa Proklamasi 16 Agustus di Rengasdengklok, Dudum
’’meningkatkan’’ dokumentasinya dari sketsa menjadi sebuah lukisan yang
kini tersimpan di galerinya.
Alasan pemilihan tanggal 16 dan
17 Agustus untuk menyatakan proklamasi oleh Bung Karno, akhirnya
diketahui Dudum setelah dia berusia 20 tahun. Dia dekat lagi dengan Bung
Karno, setelah Dudum menjadi dekorator Gedung Konferensi Asia Afrika di
Bandung. Saat dewasa, barulah Dudum mengenal Bung Karno sebagai sosok
yang kuat dalam hal metafisik.
’’Jadi ringkasnya, Bung Karno
itu seakan sudah dapat wahyu bahwa tanggal yang tepat adalah tanggal 16
di Rengasdengklok dan tanggal 17 di Pegangsaan Timur Nomor 56. Jadi
meskipun dipaksa pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia, Bung Karno tetap tidak mau, karena sudah tahu bahwa itu
tanggal yang tepat dan tidak sampai mengorbankan nyawa rakyat banyak,’’
ujar pria berkacamata tersebut.
Dudum berani mengatakan
demikian, karena melihat sendiri beberapa hal yang diprediksi Bung
Karno, tepat. Dia menjelaskan beberapa di antaranya, namun meminta tidak
dipublikasikan karena bisa menimbulkan fitnah.
Dia lantas
menceritakan ’’sinyal’’ yang diberikan Bung Karno saat akan meninggalkan
Rengasdengklok menuju Jakarta. Wajah sang proklamator terlihat tegar
ketika berjalan menuju mobil yang akan membawanya. Namun ketika menengok
rakyat di Rengasdengklok yang mengantarkannya, wajahnya menjadi sedih.
’’Terlihat Beliau khawatir nasib kami yang telah tulus membantu.
Ternyata beberapa bulan kemudian, atau sekitar dua bulan setelah
Lebaran, memang terjadi keonaran di Karawang dan sekitarnya. Para oknum
jawara merebut kekuasaan dan meneror rakyat. Terjadi kekerasan,
pertumpahan darah sesama bangsa,’’ katanya.
Dudum sangat ingat
peristiwa berdarah tersebut. Selain melihat langsung kerusuhan, juga
karena rumah ayahnya selalu didatangi tokoh-tokoh dari beberapa suku di
Rengasdengklok yang melaporkan kekacauan yang terjadi. Warga dari etnis
China, serta orang Jawa dan orang Sunda yang kaya dirampok dan diusir.
Jika menolak, pasti dihabisi. Wedana dan kepala desa dicopot, lalu
diganti orang-orang dari gerombolan bersenjata rampasan dari Jepang,
yang memanfaatkan kondisi status quo untuk kepentingan mereka.
’’Saya masih ingat, pimpinan jawara itu Kang Hamzah. Tatanan jadi
kacau, karena pemimpin bukan lagi orang pintar dan terhormat, tetapi
mereka yang kejam dan melakukan kekerasan. Karawang dan Rengasdengklok
yang sebelumnya makmur menjadi hancur. Makanya saya selalu bersyukur
proklamasi terjadi di bulan Puasa, jadinya aman dan suasananya
tenteram,’’ turu Dudum.
Sate Kambing
Ada hal menarik yang disaksikan Dudum sewaktu Bung Karno dan
keluarganya serta Bung Hatta berada di Rengasdengklok. Dia teringat,
pada saat singgah di rumahnya dan kemudian pindah ke rumah Djiau Kie
Song, Guntur Soekarnoputera yang masih bayi terus-terusan menangis.
Ternyata Guntur lapar karena ASI ibunya, Fatmawati atau Bu Fat, kering.
’’Mungkin stres akibat kondisi yang tidak menentu itu, jadi Bu Fat
tidak keluar ASI-nya. Saya kasihan sekali lihat Bu Fat. Guntur tidak
berhenti juga menangisnya. Tapi saya masih kecil, jadi bingung, lalu ibu
saya menyuruh saya minta susu di markas tentara Jepang di
Rengasdengklok,’’ katanya.
Perintah ibu Dudum beralasan, karena
tahu bahwa anak lelakinya itu adalah kesayangan staf logistik Jepang
bernama Yoshizawa. Dudum mengaku bahwa Yoshizawa (yang akhirnya kembali
bertemu dengannya saat Dudum mengunjungi Sapporo, Jepang) senang dan
sayang dengan anak-anak, termasuk dirinya. Apalagi Dudum punya kemampuan
membuat sketsa dengan pensil.
’’Yoshizawa paham bahasa Jepang
sederhana anak-anak, jadi nggak perlu ngomong banyak. Saya bilang minta
susu bubuk, ada orang sakit, dia bilang ambil aja. Ya saya ambil banyak
sekali, dilihat teman-teman Yoshizawa, ya tenang aja. Lalu saya berikan
kepada Ibu, Ibu saya berikan ke Bu Fat,’’ kisahnya.
Semakin
dewasa, Dudum mendengar kekejaman tentara Jepang terhadap bangsa
Indonesia dan bangsa lainnya. Dia bersyukur karena orang-orang Jepang
yang ditemui saat anak-anak berperilaku baik. ’’Jadi tidak bisa kita
pukul rata, orang A pasti kejam, orang B pasti baik.’’
Setelah
membantu ibunya melayani Bu Fat, selanjutnya Dudum mendapat tugas
memesankan sate kambing buat Bung Karno untuk berbuka puasa. Sate
kambing itu adalah pelengkap sup kambing plus emping masakan Ibu Dudum.
’’Kalau ada tamu agung, ibu saya pasti memasak sup kambing plus emping
goreng. Ibu saya diberitahu orang dari Jakarta, Bung Karno doyan sate
kambing. Saya disuruh beli di warungnya Pak Aman, saya bilang ini untuk
Ir Soekarno. Tahu begitu, dia (Pak Aman) langsung menggratiskan sate
yang saya pesan,’’ katanya.
Begitu saat berbuka tiba, Bung
Karno dan beberapa orang, termasuk ayah Dudum, berbuka dengan kolak
pisang. Bung Karno lantas menghabiskan sup kambingnya terlebih dahulu,
lalu mengambil sedikit nasi, setelah itu baru memakan sate. Dudum ingat
betul, Bung Karno menghabiskan sekitar 30 tusuk sate.
’’Saya
sebagai anak kecil ya kaget, ada orang nggado sate kambing sampai segitu
banyaknya dan makan nasinya sedikit sekali. Bung Karno lihat saya lalu
ngomong, kenapa Dum, aneh? Saya cuma cengar-cengir tidak berani
menimpali, karena bapak saya sudah melototin saya,’’ tuturnya.
Di mata Dudum kecil, Bung Karno adalah sosok yang komplit. Ia bisa
sangat berwibawa dalam bersikap, teguh dalam pendirian, mampu
menggelorakan semangat, namun bisa juga cair dalam suasana kekeluargaan
yang sangat santai. Sementara Bung Hata adalah sosok intelektual formal
yang santun.
’’Beliaulah yang menyebabkan saya tergerak
belajar Jawa. Ya, biar bisa ngobrol lebih kekeluargaan, karena beliau
sukanya pakai Bahasa Jawa. Saat di Rengasdengklok, banyak tokoh Jakarta
dan tokoh Jawa setempat yang sowan beliau, yang muncul Bahasa Jawa. Bung
Hatta nggak ngerti, jadi senyum-senyum saja, tapi akhirnya tanya
sana-sini, penasaran apa yang dibicarakan tamu-tamu,’’ ucapnya seraya
tertawa.
Tahu akan potensi Dudum dalam seni, Bung Karno
membantunya agar makin berkembang. Dudum mendapat kesempatan belajar ke
Jepang atas bantuan Pramuraharjo (sekretaris pribadi Bung Karno). Di
Negeri Sakura tersebut dia menekuni ilmu industri seni kerajinan tangan
selama lima tahun.
Pada tahun 60-an, atas bantuan Mas Agung
(Chio Wie Thay), Dudum berangkat ke Belanda untuk menggali potensinya
dan berkarier selama tujuh tahun. Setelah itu pada awal 80-an dia
diminta Raja Arab Saudi untuk membuat lukisan tentang sejarah para Nabi.
Setelah berkeliling berbagai negara di dunia, tahun 1985 dia kembali ke
Tanah Air dan tetap berkarya hingga kini.
Dudum memilih hidup
menyepi di tempat yang memang benar-benar sulit dijangkau, yaitu Desa
Mekarwangi. ’’Ini dorongan batin saya, setelah sekian lama melanglang
buana. Di sini saya bisa lebih enak berdialog dengan alam, sambil terus
melukis. Di sini saya sering berjumpa dengan Bung Karno, dan bagi saya
Bung Karno tidak mati,’’ akunya.
Dia tinggal bersama istrinya
Entin Hartini dan dua anaknya, Siti Komariah dan Angga Ragiesty.
Walaupun sederhana, di dalam rumah Dudum terdapat barang-barang unik
pemberian Bung Karno. Salah satunya adalah kursi tamu dengan sandaran
kepala berornamen mahkota Kerajaan Belanda.
’’Kursi ini dari
Istana Bogor. Bung Karno bilang, Dum, kamu mau kursi ini, ambil saja.
Saya ingin ganti dengan yang lambang Garuda, itu lambang kita,
kebanggaan kita. Ya saya senang sekali, apalagi kursi jati ini tidak ada
sambungannya,’’ kata Dudum sambil menunjukkan detail kursi yang
didudukinya, yang ternyata memang tak ada sambungannya alias dari kayu
jati utuh. (Hartono Harimurti, Setiady Dwie-59)